REVOLUSI TEKNOLOGI ERA GEN Z DAN TANTANGAN FOMO (Fear of Missing Out)
JOURXADA-Plg-Generasi Z merupakan generasi yang lahir setelah Generasi Milenial, umumnya didefinisikan sebagai mereka yang lahir antara tahun 1997 hingga tahun 2012. Generasi ini merupakan generasi pertama yang lahir di era digital dan tumbuh dengan akses internet dan teknologi sejak usia dini. Oleh karena itu, generasi ini membawa dinamika baru dalam dunia pendidikan. Terbiasa dengan teknologi dan internet, mereka memiliki cara belajar yang unik dan berbeda dari generasi sebelumnya. Hal ini menuntut dunia pendidikan untuk beradaptasi dan memanfaatkan teknologi secara optimal, seperti platform pembelajaran online, media sosial edukatif, dan aplikasi edukasi, untuk menciptakan pengalaman belajar yang efektif dan relevan bagi Generasi Z
(Sumber:https://jogjacodinghouse.com/2024/07/17/teknologi-di-tangan-gen-z-bagaimana-mereka-mengubah-dunia-digital/ .Diakes Minggu, 2 November 2025, pukul 13:35 WIB)
Generasi Z, dengan kebiasaan dan pemahaman teknologi yang telah melekat sejak dini, membawa perubahan signifikan dalam paradigma pendidikan. Mereka memasuki era di mana pembelajaran tidak lagi terbatas pada ruang kelas fisik, tetapi meluas ke dunia maya yang tak terbatas. Kemampuan mereka untuk beradaptasi dengan perangkat teknologi dan berinteraksi dengan informasi secara digital mengubah pengarahan cara pendidikan. Tentunya, perubahan ini tidak hanya terjadi dalam proses pembelajaran, tetapi juga dalam konteks pendidikan itu sendiri. Generasi Z memiliki akses tak terbatas ke sumber daya informasi melalui internet, sehingga memungkinkan mereka untuk belajar tentang topik apapun, kapan pun, dan di mana pun mereka berada. Hal ini memunculkan konsep pembelajaran mandiri dan personalisasi, di mana setiap individu dapat menyesuaikan jalannya sendiri dalam memperoleh pengetahuan. Selain itu, mengulik kembali dari pembahasan sebelumnya, generasi z memiliki keunikan gaya belajar yang berbeda dengan generasi sebelumnya, sehingga memunculkan tuntutan untuk dunia pendidikan. Dibalik tuntutan tersebut, ada karakteristik unik dari gaya belajar generasi Z, yakni:
Digital Natives: Generasi Z terbiasa dengan teknologi dan internet sejak usia dini. Mereka mahir dalam menggunakan berbagai perangkat digital dan mudah beradaptasi dengan platform dan aplikasi baru.
Belajar Mandiri: Generasi Z memiliki kemampuan belajar mandiri yang tinggi. Mereka terbiasa mencari informasi dan belajar dari berbagai sumber secara online.
Kolaboratif dan Interaktif: Generasi Z menyukai pembelajaran yang kolaboratif dan interaktif. Mereka senang bekerja sama dengan teman sebaya dan bertukar ide melalui diskusi dan presentasi.
Kreatif dan Inovatif: Generasi Z memiliki jiwa kreatif dan inovatif. Mereka senang mengerjakan proyek-proyek kreatif dan mencari solusi inovatif untuk berbagai masalah.
(Sumber: https://terapan-administrasi.vokasi.unesa.ac.id/post/revolusi-belajar-generasi-z-bagaimana-teknologi-mengubah-dunia pendidikan. Diakses Sabtu,1 November 2025, pukul 20:28 WIB)
Artikel Bruce Tulgan dan RainmakerThinking, Inc. berjudul “Meet Generation Z: The Second Generation within The Giant Millenial Cohort” yang didasarkan pada penelitian longitudinal sepanjang 2003 sampai dengan 2013, menemukan lima karakteristik utama Gen Z yang membedakannya dengan generasi sebelumnya. Pertama, media sosial adalah gambaran tentang masa depan generasi ini. Gen Z merupakan generasi yang tidak pernah mengenal dunia yang benar-benar terasing dari keberadaan orang lain. Media sosial menegasikan bahwa seseorang tidak dapat berbicara dengan siapa pun, di mana pun, dan kapan pun. Media sosial menjadi jembatan atas keterasingan, karena semua orang dapat terhubung, berkomunikasi, dan berinteraksi. Ini berkaitan dengan karakteristik kedua, bahwa keterhubungan Gen Z dengan orang lain adalah hal yang terpenting. Ketiga, kesenjangan keterampilan dimungkinkan terjadi dalam generasi ini. Ini yang menyebabkan upaya mentransfer keterampilan dari generasi sebelumnya seperti komunikasi interpersonal, budaya kerja, keterampilan teknis dan bepikir kritis harus intensif dilakukan. Keempat, kemudahan Gen Z menjelajah dan terkoneksi dengan banyak orang di berbagai tempat secara virtual melalui koneksi internet, menyebabkan pengalaman mereka menjelajah secara geografis, menjadi terbatas. Meskipun begitu, kemudahan mereka terhubung dengan banyak orang dari beragam belahan dunia menyebabkan Gen Z memiliki pola pikir global (global mindset). Terakhir, keterbukaan generasi ini dalam menerima berbagai pandangan dan pola pikir, menyebabkan mereka mudah menerima keragaman dan perbedaan pandangan akan suatu hal. Namun, dampaknya kemudian, Gen Z menjadi sulit mendefinisikan dirinya sendiri. Identitas diri yang terbentuk sering kali berubah berdasarkan pada berbagai hal yang mempengaruhi mereka berpikir dan bersikap terhadap sesuatu.
Tidak selamanya kedekatan Gen Z dengan teknologi memberikan keuntungan. Dalam dunia kerja misalnya, O�Connor, Becker, dan Fewste (2018) dalam penelitiannya berjudul "Tolerance of Ambiguity at Work Predicts Leadership, Job Performace, and Creativity”, menemukan bahwa pekerja yang lebih muda menunjukkan kapasitas yang lebih rendah untuk mengatasi ambiguitas lingkungan dibandingkan dengan pekerja yang lebih tua. Generasi lebih muda terbiasa mengekspresikan keinginan untuk hal-hal yang bersifat kebaruan termasuk pada bidang pekerjaan yang sifatnya lebih menantang. Namun, Gen Z belum memiliki keterampilan dan kepercayaan diri yang mumpuni untuk mengelola ketidakpastian lingkungan yang sering kali terjadi sehingga cenderung menjadi lebih cemas. Ini semacam mematahkan asumsi yang selama ini terbangun bahwa menjadi penduduk asli digital (digital native), artinya melengkapi kekurangan dari karakteristik generasi sebelumnya melalui keterampilan yang lebih adaptif dan inovatif dalam mengatasi situasi ketidakpastian. Dasar yang dikemukakan dalam penelitian ini cukup beralasan. Gen Z dilahirkan dan dibesarkan dalam pengasuhan yang terlalu protektif di tengah kondisi dunia yang serba tidak menentu. Resesi ekonomi, transformasi digital, invasi di beberapa negara, bencana alam, dan juga wabah penyakit. Ini yang kemudian menyebabkan di masa dewasa, Z menjadi kurang toleran terhadap ambiguitas lingkungan karena masa kanak-kanak yang terlalu terlindungi. Penelitian American Psychological Association yang dikutip dalam Media Literasi bagi Digital Natives: Perspektif Generasi Z di Jakarta (2018) menegaskan temuan tersebut. Kemampuan mengelola stres dan mencapai gaya hidup sehat semakin menurun di setiap generasi. Jika fenomena ini berlanjut, maka ke depannya, Gen Z akan menjadi generasi yang paling stres sepanjang sejarah. Kondisi ini juga berkaitan dengan karakter Gen Z yang tidak memiliki batasan dengan individu lain, sehingga memungkinkan mereka mudah labil karena menerima terpaan informasi dan kondisi yang cepat berubah dan serba acak.
(Sumber:https://pskp.kemendikdasmen.go.id/gagasan/detail/gen-z-dominan-apa-maknanya-bagi-pendidikan-kita. Diakses Sabtu,1 November 2025, pukul 20:45 WIB)
generasi Z berbeda dari karakter generasi sebelumnya.Generasi ini tumbuh dan berkembang dengan ketergantungan yang besar ada teknologi digital,yang membuat mereka cerdas, inovatif, dan menyukai ekspresi. Karena mereka lahir,akses ke informasi, khususnya ninternet, sudah mendunia, teknologi sudah menjadi bagian darihidup generasi ini. Ada kemungkinan bahwa prinsip-prinsip, perspektif, dan tujuan hidup mereka akan dipengaruhi oleh perubahan zaman yang serba digital ini. Dengan perkembangan teknologi, Generasi Z menjadi sangat ingin tahu tentang berbagaihal yang biasa disebut sebagai FOMO (Fear of Missing Out). Ketika seseorang takut kehilangan informasi atau berita terbaru, mereka disebut FOMO. Hal ini dapat menimbulkan kecemasan dan ketakutan, yang dapat menyebabkan orang tersebut menghilang. Namun, tidak semua orang takutatau bahkan cemas ketika mereka tidak tahu apa yang sedang terjadi. Sebagian orang melihat hal ini sebagai hal yang wajar.Di Era Society 5.0, kemajan teknologi menjadi tantangan terbesar bagi Generasi Z. Generasi Z mudah terpengaruh oleh kemajuan teknologi, yang menghalangi mereka dalam membentuk karakter dan menemukan jati diri mereka. Mereka menjadi bingung saat membuat
keputusan setelah kemajuan teknologi ini. Dalam kebanyakan kasus, generasi ini mengikuti keputusan orang lain.
(Sumber: https://www.ejoural.kampusakademik.co.id .Diakses Sabtu,1 November 2025, pukul 20:45 WIB)
Simpulan
Generasi Z, yang lahir antara tahun 1997 hingga 2012, merupakan generasi pertama yang tumbuh di era digital dengan akses internet dan teknologi sejak usia dini. Hal ini membentuk karakteristik unik mereka sebagai digital natives yang mahir beradaptasi dengan perangkat digital, belajar mandiri melalui sumber online, serta menyukai pembelajaran kolaboratif, interaktif, kreatif, dan inovatif. Dalam dunia pendidikan, mereka mendorong perubahan paradigma menuju pembelajaran personalisasi dan tak terbatas ruang, memanfaatkan platform online, media sosial edukatif, dan aplikasi untuk pengalaman belajar yang relevan. Namun, penelitian menunjukkan karakteristik lain seperti ketergantungan pada media sosial untuk keterhubungan, pola pikir global, keterbukaan terhadap keragaman, serta kesulitan mendefinisikan identitas diri akibat pengaruh eksternal yang cepat berubah.
Meski teknologi memberikan keuntungan, Generasi Z menghadapi tantangan signifikan. Mereka cenderung memiliki toleransi ambiguitas yang rendah, sehingga lebih rentan terhadap kecemasan, stres, dan kesulitan mengelola ketidakpastian di dunia kerja atau kehidupan sehari-hari, terutama karena pengasuhan protektif di masa kanak-kanak di tengah kondisi global yang tidak menentu. Fenomena seperti FOMO (Fear of Missing Out) juga muncul, di mana keingintahuan tinggi terhadap informasi terbaru dapat menimbulkan kecemasan dan kesulitan membentuk karakter serta jati diri. Di Era Society 5.0, kemajuan teknologi menjadi tantangan utama, membuat Generasi Z mudah terpengaruh, bingung dalam pengambilan keputusan, dan cenderung mengikuti keputusan orang lain. Secara keseluruhan, Generasi Z berbeda dari generasi sebelumnya dengan ketergantungan teknologi yang tinggi, yang membawa inovasi namun juga risiko psikologis, menuntut dunia pendidikan dan masyarakat untuk beradaptasi guna mendukung perkembangan mereka secara holistik.
(*Luv/Sky/JXD/10/25)





